Kepala Bappeda Karawang Tuntut Kemenkeu-ESDM Buka Data Lifting, Soroti Kepatuhan Pelaporan CSR Ratusan Perusahaan

 

KARAWANG, Rabu 5/11/2025 – Kekhawatiran serius muncul di kalangan pemerintah daerah dan tokoh masyarakat Karawang terkait Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam (SDA) yang dialokasikan ke wilayah lumbung industri tersebut. Anggaran DBH dari sektor Migas dan Panas Bumi dilaporkan mengalami penurunan drastis, disusul dengan isu krusial mengenai minimnya transparansi Corporate Social Responsibility (CSR) dari ribuan perusahaan industri.

Tiga Poin DBH Anjlok, Dari Puluhan Miliar Menjadi Jutaan

Dalam forum yang digelar oleh perwakilan daerah, terungkap data alokasi DBH SDA (Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi) yang menunjukkan tren penurunan yang tidak wajar,

• Tahun 2024: Alokasi DBH total mencapai Rp 42 Miliar.

• Tahun 2025: Angka turun menjadi Rp 16 Miliar.

• Rencana 2026 (Estimasi Kemenkeu), Diperkirakan anjlok hingga hanya Rp 16 Juta.

Ridwan Salam, Kepala Bappeda Karawang, menyatakan, “Penurunan ini sangat mencolok dan tidak masuk akal. Kami menuntut Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian ESDM, untuk segera membuka data lifting (produksi) riil di lapangan penghasil, seperti Sakarawang.”

Ridwan menambahkan bahwa pemerintah daerah bahkan tidak diberitahu berapa hasil produksi yang menjadi dasar perhitungan pembagian hasil. “Pihak daerah mendesak adanya transparansi total, mengingat penetapan DBH didasarkan pada realisasi penerimaan negara (actual revenue) yang sangat dipengaruhi oleh volume produksi (lifting) dan harga komoditas.”

Sorotan Tajam 1.800 Perusahaan, Hanya 99 yang Lapor CSR

Isu kedua yang menjadi sorotan adalah rendahnya kepatuhan perusahaan industri terhadap kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).

Dari sekitar 1.800 perusahaan yang beroperasi di Karawang, laporan menunjukkan bahwa,

• Tahun 2024: Hanya 116 perusahaan yang melaporkan CSR dengan total nilai Rp 48 Miliar.

• Tahun 2025: Jumlah perusahaan yang melapor turun menjadi 99, meski nilai CSR yang dilaporkan naik menjadi Rp 89 Miliar.

Data ini memicu kekhawatiran bahwa ratusan perusahaan melaksanakan CSR tanpa melaporkannya atau bahkan tidak melaksanakannya sama sekali.

“Karawang adalah lumbung industri terbesar, tetapi manfaat CSR-nya tidak terlihat dan tidak terasa oleh masyarakat. Kami tidak pernah melihat transparansi penyaluran dana, padahal UU mewajibkan CSR,” tegas Ridwan, menyoroti hak masyarakat untuk mengetahui penyaluran dana tersebut.

Pemda Perkuat Forum CSR, Tuntut Sinkronisasi dan Kepatuhan

Menyikapi hal ini, Pemerintah Daerah melalui Tim/Forum CSR bertekad memperkuat mekanisme pengawasan dan pelaporan dengan pendampingan Kejaksaan. Forum CSR ini berfungsi sebagai fasilitator antara perusahaan dan masyarakat.

“Kami sedang meramu mekanisme baru. Proposal tidak boleh langsung dijawab perusahaan. Harus tembus ke Pemda agar program CSR sinkron dengan program pembangunan daerah di sektor Kesehatan, Pendidikan, dan Lingkungan,” jelas Ridwan salam.

Pemerintah Daerah juga menegaskan kembali ketentuan wajib CSR yang diatur dalam Undang-Undang, termasuk besaran yang merujuk pada ketentuan penyisihan keuntungan bersih. Sanksi administratif yang diatur UU Penanaman Modal bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR dapat berupa peringatan tertulis, pembatasan, hingga pencabutan kegiatan usaha.

“Dana sebesar Rp 89 Miliar tersebut adalah murni dana yang dikeluarkan perusahaan, Tim Fasilitasi CSR kami anggarannya Rp 0 (nol rupiah). Peran kami hanya menyambungkan usulan riil dari masyarakat. Kunci utamanya adalah kepatuhan melaporkan agar terwujud transparansi anggaran,” tuturnya.

(Ww).

 

 

WWnews .com

Setiap informasi berdasarkan data dari korespondens

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!